Refleksi Sumpah Pemuda Dan ‘Political Disruption’ Generasi Milenial Golkar Hadapi Pemilu 2019

ilustrasi (MI/Pata Areadi)
epicentrum.id – Semangat Kongres Pemuda II 90 tahun lalu masih menggema hingga kini. Pada waktu itu, Kongres Pemuda II merupakan kongres pergerakan pemuda Indonesia yang digelar dua hari pada 27-28 Oktober 1928. Batavia, sebutan Jakarta di masa itu, menjadi tempat perhelatan kegiatan yang nantinya menjadi titik semangat perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia, lewat pembacaan proklamasi hampir 17 tahun kemudian.
Kegiatan yang dihadiri oleh sejumlah perwakilan pemuda dari berbagai wilayah nusantara penuh dengan gegap semangat memperjuangkan eksistensi kebangsaannya, Bangsa Indonesia.
Di dalam Gedung Indonesische Clubgebouw yang terletak di Jalan Kramat Raya 106 ini, kegiatan kongres pemuda II menjadi salah satu momen bersejarah, dikenang hingga hari ini karena ditempat itu, para peserta kongres berikrar melalui sebuah sumpah pemersatu segenap elemen bangsa. Sumpah yang kini dikenal sebagai ‘Sumpah Pemuda’ ini terdiri dari tiga kalimat sakti: “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Sumpah Pemuda tidak hanya sekedar ikrar atau sumpah biasa, melainkan sebuah luapan semangat dan kecintaan yang menegaskan kesetiaan para pemuda Nusantara saat itu terhadap Tanah Air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa persatuan Bahasa Indonesia.
Sumpah tersebut menjadi pemicu dan pemersatu semangat heroisme di masyarakat memperjuangkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk kali pertama, lagu “Indonesia Raya” pun turut diperdengarkan di hadapan para peserta Kongres Pemuda II itu.

Peran penting pemuda mengubah garis sejarah
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia tidak pernah terlepas dari peran pemuda. Di awal abad XX, para pemuda Nusantara mencetuskan pemikiran tentang pentingnya kesadaran dan kebanggaan sebagai sebuah kesatuan bangsa. Pemikiran tersebut merayap dan menjalar ke seluruh pelosok Nusantara, yang pada akhirnya mencetuskan kongres pemuda.
Perjuangan pun berlanjut. Kekalahan Jepang di Perang Dunia II menjadi momentum emas yang menghampiri Nusantara untuk terlepas dari belenggu penjajahan bangsa-bangsa. Para pemuda yang mendesak para tokoh perjuangan bangsa waktu itu untuk mempercepat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Peristiwa Rengasdengklok berhasil meyakinkan para tokoh perjuangan untuk segera melakukan hal tersebut. Tak lama, Soekarno dan Muhammad Hatta menjadi tokoh pemuda yang membawa bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, dengan menandatangani teks proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno.
Gejolak pergerakan tahun 1966 juga menempatkan pemuda menjadi motor perubahan dari Orde Lama menuju Orde Baru. Para Pemuda yang tergabung dalam ratusan kesatuan aksi menuntut perubahan nasional lewat Tri Tuntutan Rakyat yang berisi pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, serta perbaikan ekonomi. Pergerakan tersebut mengantarkan transisi kepemimpinan dari Orde Lama ke Orde Baru dengan harapan perubahan dapat membawa kesejahteraan.
Gejolak pemuda tidak berhenti disitu. 32 tahun berselang, pemuda kembali menjadi motor perubahan. Krisis yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 ditandai dengan merosot tajamnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS, hingga menyentuh level Rp16 ribu. Pengetatan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah, dan ditambah dengan kenaikan suku bunga yang sangat tinggi justru semakin memperparah kondisi perekonomian yang sudah karut marut. Kepanikan melanda masyarakat, mereka telah kehilangan kepercayaan pada pemerintah dan perbankan. Korupsi, kolusi, nepotisme, serta kemiskinan menyebabkan ketimpangan sosial dan menimbulkan kerusuhan sosial. Rasa ketidakadilan dan ketimpangan yang kian marak mendorong pemuda untuk kembali turun membela kepentingan rakyat. Orde Baru pun tumbang, berganti dengan reformasi.
Peran pemuda di era milenium baru
Lalu bagaimana peran pemuda menghadapi era milenium baru, dimana semuanya bergerak dengan cepat? Di era ini pemuda memiliki peran yang sama sebagai agen perubahan. Bahkan, peran itu semakin penting. Globalisasi yang melanda berbagai bidang memperlihatkan bahwa data dan informasi amat bernilai, membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin maju, siapa pun memiliki kesempatan yang setara.
Lihat saja tokoh-tokoh global seperti Bill Gates (pendiri Microsoft), Steve Jobs (pendiri Apple), Jeff Bezos (pendiri Amazon), Larry Page dan Sergei Brin (pendiri Google), Jack Ma (pendiri Alibaba), Anthony Tan (pendiri Grab) sampai dengan tokoh-tokoh pemuda nasional seperti Nadiem Makarim (pendiri Gojek), William Tanuwijaya (pendiri Tokopedia), dan Achmad Zaky (pendiri Bukalapak). Mereka semua adalah tokoh muda yang berhasil ‘merusak’ tatanan bisnis yang sudah ada, melakukan disrupsi (disruption) di bidang bisnis dengan memanfaatkan ide, kesempatan dan talenta yang mereka miliki. Disrupsi ini melahirkan potensi bisnis baru, mengalahkan pemain lama, sesuatu yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Semangat perubahan pemuda melahirkan disrupsi politik
‘Business disruption’ atau disrupsi bisnis ini pun merambat ke dunia politik. Barack Obama adalah contoh sukses tokoh muda Amerika Serikat dalam melakukan ‘political disruption’ atau ‘disrupsi politik’ di negaranya. Perjalanan karir politiknya terbilang singkat menuju kursi pemimpin paling berpengaruh di muka Bumi. Walau sejak tahun 1997 hingga 2004, dirinya tiga kali mewakili Distrik ke-13 di Senat Illinois, namun tidak lolos ke tahap Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat tahun 2000. Baru pada tahun 2005 Obama akhirnya terpilih sebagai senator Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Pada tahun 2009 di usianya yang ke 44 tahun, Barack Obama berhasil memenangi pemilihan Presiden Amerika. Dirinya mengalahkan tokoh-tokoh yang sudah mapan dalam politik seperti Senator New York dan mantan Ibu Negara Hilary Clinton dan rival dari Partai Republik, Senator John McCain.
Keberhasilan Barack Obama sebagai tokoh muda mendobrak kemapanan politik di negeri Paman Sam lantas menjalar ke seluruh dunia. Lihat saja, banyak tokoh muda dunia yang menjadi pemimpin di negaranya. Emmanuel Macron (PM Perancis, usia 37 tahun waktu dilantik), Justin Trudeau (PM Kanada, 44 tahun), Katrín Jakobsdóttir (PM Islandia, 41 tahun), Volodymyr Borysovych Groysman (PM Ukraina, 38 tahun), Aleksis Tsipras (PM Yunani, 35 tahun ), Juri Ratas (PM Estonia, 38 tahun), Sebastian Kurz (PM Austria, 31 tahun), Giorgi Margvelashvilli (Presiden Georgia, 44 Tahun), Andrzej Duda (Presiden Polandia, 43 Tahun), Yousef Chahed (PM Tunisia 40 tahun) adalah beberapa contoh. Indonesia pun tak ketinggalan. Joko Widodo (umur 53 tahun waktu dilantik) dianggap sebagai tokoh yang mampu mendobrak kemapanan (atau stagnasi) kepemimpinan politik di Indonesia. Kemenangan Anies Baswedan (umur48 tahun waktu dilantik) dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta juga dapat dilihat sebagai disrupsi politik, sebuah proses perubahan yang telah terjadi di mana-mana.
Disrupsi politik generasi milenial Partai Golkar di Pemilihan Legislatif 2019
Sejatinya disrupsi politik tidak hanya terjadi di masa kini. Tapi telah lama berjalan sepanjang masa. Hanya saja, cepatnya informasi di masa milenium ini membuat disrupsi kian menggema, cepat penjalarannya. Kemudahan aksesibilitas masyarakat terhadap Internet mempermudah disrupsi itu. Bayangkan, kepemilikan telepon pintar oleh hampir tiap individu di masyarakat membuat mereka dapat dengan mudah mendapatkan informasi tiap detiknya, kapan saja, dimana saja, tentang apa saja.
Berasal dari kata bahasa Inggris, ‘disruption’ yang memiliki arti sebagai berikut: (1) “an event that results in a displacement or discontinuity”, (2) “the act of causing disorder”, atau (3) “the act or rending asunder, or the state of being rent asunder or broken in pieces”.
Kurang lebih dapat dimaknai sebagai “sebuah kejadian yang mengakibatkan pergantian (perubahan) atau diskontinuitas”, “tindakan yang menyebabkan gangguan”, atau “tindakan atau penyingkiran, atau keadaan terpecah”.
Intinya? Perubahan. Dunia terus berubah dengan cepatnya, demikian pula dengan Indonesia. Tentu saja ‘disrupsi politik’ ini harus menawarkan perubahan yang relevan dengan nilai yang dibutuhkan masyarakat. Kader milenial Partai Golkar harus sigap menangkap nilai yang dibutuhkan di masyarakat, serta menawarkan solusi yang relevan dengan hal tersebut.
Berkaca pada sejarah, kelahiran Golkar pun bagian dari disrupsi politik di masanya. Sebagai sebuah partai, Golkar tidak pernah berhenti melahirkan banyak kader muda dan milenial yang siap dengan ide-ide baru. Sebut saja beberapa, seperti Ace Hasan Syadzily, Maman Abdurrahman, Pahlevi Pangerang, Ilham Permana, Eka Sastra, Dito Ariotejo, Jerry Sambuaga dan masih banyak lagi lainnya. Mereka adalah para kader muda yang siap melanjutkan kebesaran Partai Golkar.
Partai Golkar pun mendorong para kader untuk aktif di sosial media. Hal tersebut diungkap oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartanto. Dirinya meminta para caleg Partai Golkar untuk aktif dan membangun citra positif Partai Golkar melalui sosial media. “Diharapkan seluruh caleg Partai Golkar memiliki sosial media yang aktif dan DPP tentu akan melakukan monitoring terhadap aktivitas dan pemberitaan di daerahnya,” demikian sosok yang juga menjabat sebagai Menteri Perindustrian ini saat menutup lokakarya kampanye dan bimbingan teknis (Bimtek) Caleg Golkar di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Sabtu (15/9/2018) beberapa waktu lalu.
Partai Golkar pun sudah menyadari akan terjadinya disrupsi politik, seperti disampaikan oleh Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Aburizal Bakrie.
“Dalam pemilu 2019, saya tidak mengharapkan Partai Golkar jadi nomor dua, tapi nomor satu atau kemenangan harus kita raih di 2019. Karenanya, saya berpesan kepada anak-anak muda yang ‘nyaleg’, agar menguasai teknologi informasi, karena saya yakin di Pemilu 2019 akan terjadi political disruption,” demikian ujar ARB, saat berbicara dalam ‘Kopi Darat (Kopdar) Praja Muda Beringin (PMB)’ bertajuk; Seberapa Gregetkah Caleg Muda Golkar?, di Gedung Kosgoro, Jl Hang Lekiu I Nomor 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (21/10/2018).
Caleg muda dan generasi milenial Partai Golkar memiliki peluang besar memenangkan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Tentu saja dengan memahami kondisi kekinian di era milenial ini. Cara berpolitik praktis berubah, tidak melulu konvensional. Agar tetap relevan dengan massa pemilih, para para caleg ini harus menguasai berbagai platform sosial media untuk menyampaikan berbagai ide dan solusi mereka.
Kemudian, melalui berbagai platform sosial media itu, para caleg menyampaikan konten bermutu. Para caleg harus mampu memproduksi konten yang berkualitas, dengan informasi yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan berbasis data, dan yang lebih penting lagi, menawarkan solusi yang bernilai dan relevan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, terutama konstituennya.
Ketiga para caleg harus aktif di sosial media. Komunikasi harus berjalan dua arah, berinteraksi langsung dengan para follower dan komentator. Disamping aktif, mereka juga harus didampingi oleh para buzzer. Keahlian para buzzer dalam memproduksi rangkaian kata-kata berfungsi sebagai endorser bagi caleg. Lewat sosial media, para caleg harus mampu menjadi opinion leader dan merangkai dukungan di masyarakat.
Keempat, tetap berada di jalur positif. Kekuatan sosial media, tentu saja memiliki sisi negatif. Diantaranya, dapat juga dipakai untuk memproduksi, menyebar hoaks untuk memainkan emosi negatif (baca: kemarahan) massa. Hal ini harus dihindari oleh para caleg.
Disrupsi politik akan menjadi berkah bagi Partai Golkar apabila partai dan para caleg dapat memanfaatkan perkembangan teknologi yang sedemikian pesatnya ini untuk menyuarakan nilai-nilai karya-kekaryaan dan membangun kebangsaan, menyentuh nilai-nilai yang relevan di masyarakat. (#)

*Tauhidin Anandapenulis adalah pembelajar politik dan pegiat sosial