Demi Sukseskan Pembangunan Lima Tahun Ke Depan, Jokowi Butuh Airlangga



Tidak lama lagi, penentuan kepastian pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden untuk periode 2019-2024 akan tiba. Berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan, tanggal 4-10 Agustus 2018 menjadi waktu bagi koalisi parpol untuk mendaftarkan pasangan calon ke KPU. Sudah kurang dari sebulan.
Saat ini ada dua sosok yang akan bertarung di Pilpres 2019, yaitu Joko Widodo, kali ini berperan sebagai petahana, dan Prabowo sebagai penantang. Situasinya mirip dengan kondisi 2014. Bedanya, waktu itu baik Joko Widodo maupun Prabowo berstatus sebagai penantang dan akan menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang telah menjabat 2 periode selama sepuluh tahun serta tidak dapat dipilih lagi.
Untuk maju lagi meneruskan pemerintahannya pada periode 2019-2024, Joko Widodo akan memilih sosok Cawapres terbaik. Sebelumnya, banyak muncul beberapa tokoh yang dianggap dapat menjadi pendamping Jokowi. Namun, yang lebih penting, dari calon-calon tersebut, Jokowi butuh Cawapres kaya pengalaman dan kuasai perihal ekonomi sebagai pendampingnya di 2019-2024.
Dari pembahasan tersebut, telah mengerucut pada satu nama, yaitu Airlangga Hartarto. Pemilihan sosok tersebut semakin menguat dengan perkembangan terkini, yaitu hasil dari Pilkada serentak 2018. Sebelumnya, memang hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 telah banyak dinantikan, dan disebut akan menjadi salah satu faktor untuk menentukan sosok calon wakil presiden (cawapres), baik di kubu Joko Widodo (Jokowi) sebagai petahana maupun Prabowo Subianto sebagai penantang dari pihak oposisi.
Hasil Pilkada serentak memperkuat posisi Partai Golkar
Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung serentak pada 27 Juni 2018 di beberapa wilayah Indonesia telah selesai dilaksanakan dengan damai. Hasil Pilkada tersebut telah menempatkan Partai Golkar pada posisi yang strategis, yaitu sebagai salah satu partai kuat dalam kancah politik nasional. Dengan demikian, Jokowi tidak dapat mengabaikan atau meninggalkan Partai Golkar dalam upaya melanjutkan tampuk kepemimpinannya untuk kali kedua di periode 2019-2024. Partai Golkar memegang peranan penting dalam Pilpres 2019.
Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) dari sejumlah lembaga survei yang kredibel, Partai Golkar memenangkan sembilan pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi (gubernur) dengan capaian 52,94 persen dari 17 pilgub. Di tingkat kota, memenangkan 22 pemilihan wali Kota, atau mencapai 56,41 persen dari 39 pilwalkot. Di tingkat kabupaten mampu memenangkan 48 pemilihan bupati, atau sebesar 41,74 persen dari 115 pilbup yang diselenggarakan.
Hasil tersebut, walau masih harus menunggu pengumuman resmi KPU, memperlihatkan Partai Golkar sebagai partai politik yang sudah teruji kematangannya. Disamping itu, Partai Golkar memiliki basis massa yang jelas dan kuat, terbukti mampu memenangkan pertarungan di banyak daerah dari keseluruhan 171 wilayah yang menggelar pilkada. Saat ini, dari hasil pilkada membuat Partai Golkar ibarat seorang gadis cantik yang diincar banyak parpol untuk digandeng sebagai mitra menghadapi Pileg 2019 dan Pilpres 2019.
Posisi ini jelas membuat nilai tawar politik Partai Golkar semakin kuat. Keunggulan Partai Golkar dalam Pilkada serentak 2018 jelas merupakan modal besar. Kesuksesan partai dalam Pilkada ini, akan menjadi tolok ukur bagi Joko Widodo dalam menentukan sosok calon wakil presiden yang akan mendampinginya di Pilpres 2019.
Ada jarak antara Jokowi dan PDIP?
Sementara, hasil yang diperoleh oleh PDIP dalam Pilkada serentak 2018 seolah memperlihatkan bahwa partai berlambang banteng moncong putih ini melemah. Asumsi ini terlihat dari hasil Pilgub di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sebagai catatan, pada Pemilu 2014 lalu di Jawa Barat, PDIP berhasil menjadi pemenang dengan perolehan suara diatas 20 persen.
Sementara, di Pilgub Jawa Barat kali ini, Tb Hasanuddin-Anton Charliyan sebagai pasangan calon yang diusung oleh PDIP hanya mampu meraup perolehan suara sebesar 12,65 persen. Di Jawa Tengah, perolehan suara pasangan calon PDIP, yaitu Ganjar Pranowo-Taj Yasin sebelumnya digembar-gemborkan mampu meraih suara diatas 60 persen, bahkan, menyebutkan angka 70 persen sebagai target awal PDIP.
Nyatanya, secara hitungan cepat, pasangan ini hanya mampu meraih suara 53,36 persen, jauh di bawah target awal yang telah ditetapkan. Sementara pasangan calon yang menjadi pesaingnya, yaitu Sudirman Said-Ida Fauziah mampu membalikkan prediksi dengan meraup sebesar 41,20 persen suara. Tentu saja, kenyataan ini membuat posisi dan kekuatan tawar-menawar PDIP mulai melemah di hadapan Jokowi, seiring dengan melemahnya pencapaian PDIP di Jabar dan Jateng.
Kenyataan pahit hasil Pilkada serentak yang baru saja berlalu, juga ditambah dengan posisi Jokowi yang seolah berjarak dengan PDIP. Suara-suara yang berkembang di masyarakat, entah bila hal tersebut berupa gosip atau pun tidak yang belum tentu kebenarannya, mengabarkan keretakan Jokowi dengan Megawati. Tentu saja hal tersebut cukup mengganggu.
Keretakan hubungan antara Jokowi dengan Megawati Soekarnoputri belakangan semakin menyeruak, dan hal tersebut cukup terlihat pada isu perbedaan dukungan Jokowi dan Megawati di Pilgub Jatim. Sebelumnya, Ahmad Basarah selaku Wasekjen PDIP memberikan kritik kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto. Hal ini terkait ucapan Airlangga yang mengatakan Presiden Joko Widodo memberikan dukungan kepada Khofifah Indar Parawansa dalam Pilgub Jawa Timur saat kampanye akbar Pilgub Jatim di Probolinggo pada Sabtu, 23 Juni 2018.
Airlangga Hartarto hadir dalam kampanye akbar Pilgub Jatim pasangan Khofifah-Emil di Probolinggo pada Sabtu, 23 Juni 2018 (baguss.id)
Ahmad Basarah menuduh Airlangga tengah mengadu domba Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Airlangga mengatakan dukungan Jokowi terhadap Khofifah sebagai balasan karena sudah memberikan dukungan kepada Jokowi pada saat Pilpres 2014 lalu. Sebagai catatan, Khofifah adalah juru bicara Jokowi dalam kampanye Pemilihan Presiden 2014 lalu. Disamping itu, banyak lagi gejolak internal di tubuh PDIP terhadap Jokowi sebagai bentuk ketidakpuasan kader partai banteng moncong putih kepada Jokowi dan kebijakan-kebijakannya.
Golkar beri jaminan dukungan dan stabilitas
Hal yang berbeda ditunjukkan Jokowi dengan Partai Golkar. Jokowi terlihat begitu mesra dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto. Tidak hanya dengan ketua umumnya, Jokowi juga akrab dengan Partai Golkar. Berulang kali politisi Partai Golkar langsung membela Joko Widodo ketika beliau diserang oleh oposisi. Masih ingat ketika beberapa kali politisi dari Gerindra, PKS ataupun Amien Rais menyerang Joko Widodo. Yang paling nyaring membela Jokowi adalah para politisi dari Partai Golkar, bukan dari PDIP.
Selain dukungan dari Partai Golkar, bentuk dukungan terhadap Jokowi pun banyak bermunculan dari para relawan. Sebut saja Relawan Gojo (Golkar Jokowi), Jangkar Bejo (Jaringan Kerja Rakyat Bersama Jokowi) intensif menyuarakan keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai selama Joko Widodo memerintah pada periode 2014-2019.
Dukungan luas dari Partai Golkar ini tentu saja akan memberikan stabilitas dalam menjalankan program-program pembangunan Presiden Joko Widodo.
Pengalaman Airlangga faktor krusial
Padatnya program pembangunan yang sedang dikerjakan oleh pemerintahan Jokowi-JK harus dilanjutkan dan dituntaskan. Jokowi membutuhkan sosok yang telah paham tentang program-programnya. Posisi Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian di Kabinet Kerja ini membuatnya dapat memahami secara mendalam program-program tersebut. Airlangga akan memegang peranan penting mengawal program-program pembangunan dan akan memastikannya berjalan lancar.
Selain berorganisasi di Partai Golkar, pengalaman Airlangga di Kadin, PII (Persatuan Insinyur Indonesia) dan juga pernah menjabat sebagai Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (2011-2014) membuatnya memiliki jaringan luas serta cukup lihai melangkah dalam organisasi dan mengambil keputusan politik. Pengalamannya sebagai legislator membuatnya mahfum terhadap kondisi perekonomian negeri ini. Sebut saja pengalamannya sebagai Ketua Komisi VII DPR RI (2006-2009) yang membidangi energi, lingkungan hidup dan riset teknologi dari Fraksi Partai Golkar. Kemudian, terpilih kembali sebagai legislator DPR (2009-2014) untuk Dapil (Daerah Pemilihan) Jawa Barat V dan menjabat sebagai Ketua Komisi VI yang membidangi perindustrian, perdagangan, UKMK, Investasi dan BUMN.
Airlangga sebagai perekat koalisi
Langkah Airlangga Hartarto dalam koalisi partai pendukung Jokowi pun terlihat mulus. Sebagai Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga tampak intensif melakukan kunjungan silaturahmi dan bertemu dengan ketua umum partai pendukung Jokowi, serta para tokoh-tokoh lainnya. Langkah ini menunjukkan sosok Airlangga Hartarto secara personal yang rendah hati, mampu menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang ketua umum partai besar yang mengayomi partai lain. Airlangga Hartarto mampu memposisikan dirinya dan partainya sebagai perekat yang membentuk harmoni diantara partai koalisi pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kemampuan Airlangga Hartarto sebagai perekat parpol dan penjaga harmoni diantara partai pendukung Jokowi ini membuatnya sebagai sosok terdepan yang tampil sebagai calon wakil presiden. Airlangga akan menjadi tokoh utama diantara para tokoh partai koalisi, dan akan lebih mudah diterima oleh seluruh partai. Hal yang tidak kalah pentingnya, Airlangga Hartarto sebagai Ketua umum Partai Golkar terlihat dapat diterima berbagai pihak yang membentuk berbagai faksi di internal partai berlambang beringin tersebut.
Ketokohan Airlangga Hartarto di level internal partai membuat suara Partai Golkar menjadi semakin solid dalam menghadapi Pemilu 2019 dan mendukung Jokowi di Pilpres 2019. Soliditas Partai Golkar terlihat dari banyaknya tokoh partai yang mendukung pencalonan sang ketua umum sebagai satu-satunya kader Partai yang akan diajukan dan diusung sebagai Cawapres pendamping Jokowi.
‘Tiket VIP’ sudah disediakan untuk Jokowi
Pernyataan terakhir keluar dalam pertemuan antara Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar. Sosok Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini bertemu pada Rabu (5/7/2018). Keduanya mengatakan bahwa koalisi Partai Golkar bersama dengan PKB sudah cukup bagi Jokowi untuk maju di Pilpres 2019. Secara hitung-hitungan, berdasarkan hasil Pemilu 2014, Partai Golkar memiliki 14%, ditambah perolehan suara PKB sebesar 9%. Tentu, gabungan perolehan suara keduanya sudah diatas 20% dan sudah lebih dari cukup untuk mengusung satu pasangan calon.
Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar. Sosok Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini bertemu pada Rabu (5/7/2018) (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Pernyataan yang keluar dari pertemuan tersebut seolah ingin menunjukkan, bahwa dengan berbekal dukungan solid Partai Golkar bersama PKB pun Jokowi dapat tetap maju sebagai Capres petahana. Sekaligus ingin menepis keraguan bahwa Jokowi dapat terpental dari kontestasi pilpres tanpa dukungan PDIP. Tentu saja, dengan jumlah perolehan suara terbesar kedua di Pemilu 2014, membuat Ketua Umum Partai Golkar menjadi sosok yang paling berhak mendampingi Joko Widodo di Pilpres. Ketokohannya serta kemampuan dan pengalamannya dibutuhkan oleh Joko Widodo untuk memastikan kesuksesan pembangunan periode pemerintahan Jokowi kedua untuk lima tahun ke depan, periode 2019-2024. [###]



*Tulisan ini juga telah dimuat di epicentrum.id dengan judul yang sama.