20 Tahun Berlalu, Reformasi Di Ambang Kegagalan?


Di awal pekan ini, napas reformasi kembali bergaung, seiring dengan peringatan 20 tahun reformasi, 21 Mei 2018. Peristiwa 21 Mei 1998 menjadi bagian sejarah kelam perjalanan bangsa Indonesia. Runtuhnya Pemerintahan Soeharto pada waktu itu sebenarnya menjadi titik yang membuncahkan harapan tumbuhnya demokrasi di tanah air. Harapan yang wajar, mengingat sebelumnya telah lama dikekang oleh pemerintahan otoriter, pemerintahan berbentuk republik tapi bercita rasa kerajaan.
Beberapa hal positif dari reformasi adalah munculnya tokoh-tokoh baru yang tampil menjadi pemimpin bangsa ini. Hal yang juga diucapkan oleh Zulkifli Hasan. Di hadapan Amien Rais, Zulkifli Hasan dengan terang menyebut bahwa pencapaian Joko Widodo menjadi Presiden RI saat ini adalah buah keberhasilan Reformasi. “Karena reformasi Pak Jokowi bisa jadi wali kota. Berkat reformasi, Pak Jokowi bisa jadi Gubernur DKI dan Presiden kita,” demikian kata Zulhas saat pidato pembukaan peringatan 20 tahun reformasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, (21/5/2018) hari Senin pekan ini. Memang tidak salah. Tampilnya berturut-turut BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan sekarang Joko Widodo adalah buah reformasi. Mereka semua adalah pemimpin bangsa yang lahir melalui proses demokrasi yang mengundang decak kagum seantero dunia.
Perubahan lainnya juga terjadi dalam hal kelembagaan politik. Terjadi tiga perubahan besar di era demokrasi. Di masa reformasi, dominasi kekuasaan berpindah dari eksekutif ke legislatif. Tidak hanya itu, proses pengambilan keputusan politik sudah tersebar, tidak seperti dulu yang terpusat di sejumlah elit. Perubahan lainnya, perubahan pemerintahan yang tadinya bersifat terpusat, kemudian dialihkan ke daerah-daerah, melalui desentralisasi.

Presiden RI ke-3, BJ Habibie
Namun, selain itu apakah reformasi telah berhasil membawa Indonesia semakin maju dalam hal berdemokrasi? Sepertinya masih jauh dari harapan. Bahkan, salah satu pelaku sejarah peristiwa tersebut, yaitu BJ Habibie pun mengungkapkan hal tersebut dalam acara peringatan 20 Tahun Reformasi. “Mengenai reformasi, apakah jalannya reformasi sesuai dengan rencana yang saya dan kawan-kawan lainnya persiapkan? Apakah sudah sampai sasarannya? Untuk menjawab itu saya sampaikan jalannya sesuai rencana, [tapi] sasarannya masih jauh,” ujar Habibie dalam pidatonya di acara “Refleksi 20 Tahun Reformasi” di Sahid Jaya Hotel Jakarta, pada Senin (21/5/2018) ini.
Gagap demokrasi
Sejatinya, perjuangan reformasi adalah untuk peningkatan kualitas peradaban manusia Indonesia di alam demokrasi. Namun sepertinya alam demokrasi tersebut semakin terkikis. Dalam keadaan seperti ini, sejarah selalu berulang dalam kisah peradaban manusia, layaknya pernyataan bahwa tiap revolusi menyisakan kekecewaannya sendiri. Dan, kekecewaan setelah reformasi berlalu dua puluh tahun namun tidak (belum) mencapai tujuannya.
Kebebasan berdemokrasi ditanggapi dengan kegagapan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Euforia demokrasi disalahgunakan, dengan begitu maraknya tebaran fitnah, hoax, dan sebagainya di media sosial. Kritik disalahartikan sebagai penghinaaan, dan perbedaan posisi maupun pemikiran diartikan sebagai penghianatan.

Donald Trump ketika diambil sumpahnya menjadi Presiden AS, 20 Januari 2017. (Foto: Official White House Facebook page)
Jangan bandingkan alam demokrasi kita dengan Amerika. Pada pemilihan presiden AS tahun 2016 yang menampilkan Donald Trump sebagai pemenangnya, begitu banyak berita hoax, hujatan, hinaan yang dilancarkan oleh kedua kubu, tapi tidak pernah kita membaca di pemberitaan ada warga AS yang ditangkap karena mengutarakan pendapatnya. Sedangkan di sini, baru sebatas menyampaikan uneg-uneg di media sosial, seperti facebook, bisa berujung penangkapan oleh aparat, atau persekusi oleh massa. Belum lagi bila menyampaikan keluh kesah di media massa karena mendapatkan produk atau pelayanan buruk dari sebuah perusahaan. Alih-alih mendapatkan perbaikan layanan atau produk, malah bisa dipidanakan karena penghinaan dengan menggunakan UU ITE.
Demokrasi yes, beda pendapat no
Suasana demokrasi terasa semakin pengap di tahun politik ini. Pemerintah seolah mengawasi tiap pergerakan pemikiran di media sosial maupun media massa. Walau menggelorakan semangat demokrasi, tapi terasa begitu sesak dan penuh dengan batasan serta larangan.
Belum hilang dari ingatan publik tentang wacana sertifikasi penceramah. Wacana yang kemudian sempat memantik emosi dengan cepat ditolak publik. Lalu, muncul langkah Kementerian Agama (Kemenag) yang secara resmi merilis 200 daftar nama mubalig penceramah Islam di Indonesia pada Jumat (18/5/2018) silam. Walaupun kemudian Menteri Agama meminta maaf atas rilis daftar tersebut, namun, tidak juga menarik atau membatalkan daftar yang ada. Bahkan, akan memperluas daftar yang telah ada sebelumnya. Ini ibarat seseorang menginjak kaki orang lain, kemudian meminta maaf, tapi tetap menginjak kaki tersebut.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
Sertifikasi penceramah, lalu daftar mubalig, dua hal yang tidak ada di zaman Orde Baru, zaman yang juga dirasa menekan umat Islam. Lalu, kenapa di era reformasi ini, justru diperketat? Belum lagi larangan berpolitik di mesjid. Padahal, kegiatan politik di mesjid pun sudah dilakukan sejak lama, bisa ditarik ke jaman Rasulullah dahulu. Tidak salah bila kemudian umat Islam merasa pemerintah memantau dan mengawasi, serta menekan umat.
Langkah-langkah yang dari sisi pemerintah dianggap sebagai upaya kontrol dan memegang kendali, oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai upaya membelah menjadi kubu pro pemerintah dan kubu oposisi pemerintah. Padahal, pemerintah seharusnya mengayomi dan menyatukan perbedaan, bukan mengeraskan perbedaan yang sudah ada. Perbedaan yang telah muncul sejak Pemilu 2014, kemudian kian mengkotak-kotak akibat kasus Ahok, dan pasti akan semakin mengkristal menghadapi tahun politik di 2018 dan 2019.
Lalu marak masalah terorisme berbasis agama yang memunculkan ketakutan masuknya kembali tentara dalam kancah politik. Padahal, di awal era reformasi, dwifungsi ABRI termasuk hal utama yang dihapus. Langkah tersebut membuat tentara kembali ke barak. Revisi UU Anti Terorisme memunculkan kekhawatiran kembalinya dwifungsi tentara, dan tentu saja keberadaan UU Anti Terorisme versi revisi ini dikhawatirkan akan semakin mendorong aksi represif oleh aparat. Represif menghadapi kritik kepada pemerintah. Bahkan, belum lagi revisi UU tersebut disahkan, aksi represif ini kembali berulang terhadap para aktivis yang melakukan demo di depan istana pada Senin (21/5/2018) ini. Seperti diutarakan oleh Amirullah Hidayat, koordinator aksi aktivis tersebut. “Cara-cara seperti ini menunjukan bahwa Joko Widodo adalah ‘Presiden Antikritik’, dan menunjukan bahwa pemerintah hari ini sudah menggunakan cara-cara Orde Baru dalam penanganan unjuk rasa, bahkan lebih kejam,” demikian tegas Amirullah mengecam aksi represif.

Aksi represif aparat menghadapi demo aktivis di depan Istana Negara dalam rangka peringatan 20 tahun reformasi, Senin (21/5/2018) (foto: rmol)
Harapan dalam kekecewaan
Belum lagi bila berbicara mengenai pencapaian ekonomi yang rendah, kualitas pendidikan yang belum memenuhi harapan, kasus-kasus HAM yang belum tertuntaskan, kondisi sosial masyarakat yang kian terabaikan.
Kekecewaan menghadapi realita reformasi yang ada saat ini, setelah berjalan dua puluh tahun. Namun, tetap jangan melupakan bahwa reformasi juga telah membawa berbagai capaian positif. Pada masa penuh pesimisme dan kekecewaan akibat reformasi yang masih jauh dari harapan sekalipun, jangan kita lupa, bahwa kita masih memiliki satu hal, yaitu harapan. Dan hendaknya kita menggantungkan harapan itu pada Tuhan Semesta Alam, bukan pada siapapun.[###]

*Tulisan ini juga telah dimuat di epicentrum.id dengan judul yang sama.